Beranda | Artikel
Innovation War: Yang Terluka dan Gugur di Medan Laga
Rabu, 1 Maret 2017

Artikel ini pernah terbit di Majalah Cetak Pengusaha Muslim

Teruslah berinovasi. Apalagi bisnis Anda melibatkan teknologi yang bergerak cepat. Tanpa kepekaan membaca tren pasar, tim pengembangan produk yang unggul dan budaya inovasi yang mengakar, organisasi bisnis menjadi tak berdaya di tengah persaingan.

Hidup terasa makin nyaman, dan untuk itu kita layak memberikan kecupan hangat kepada para inovator yang telah mempersembahkan aneka produk inovatif di hadapan kita.

Dulu, kita mungkin tak pernah membayangkan betapa kita bisa melayangkan sederet kalimat romantis pada kekasih kita melalui medium sms (short message service). Atau, juga melakukan chatting dengan kawan di seberang samudera melalui fasilitas Internet. Karena itu, siapa tahu 25 tahun lagi kita bisa menikmati mobil terbang, melayang di atas jalanan kota Jakarta sambil menikmati pendaran emas di menara Monas.

Ya, kini setiap hari rasanya kita senantiasa disuguhi aneka produk yang menawarkan sejumput inovasi demi sebuah kenikmatan hidup. Mulai dari produk kamera digital, mobile banking, media televisi di atas screen telepon genggam, hingga produk celana-dalam-sekali-pakai-kemudian-dibuang.

Kisah inovasi yang ditorehkan dengan tinta emas mungkin akan dinikmati oleh mereka yang memang senantiasa dapat meracik beragam produk baru yang inovatif. Namun bagi sebagian yang lain, perang inovasi ibarat padang Kurusetra: tempat mereka yang terpanah penuh luka akhirnya gugur di medan laga.

Dunia tak kekurangan korban yang terpelanting dalam laga inovasi yang brutal itu. Kita di sini hendak mencatat tiga contoh di antaranya.

Yang pertama, kamera digital. Dulu, sebelum kamera digital menjadi sesuatu yang lumrah, kita mengenal produk bermerk Kodak sebagai “sang dewa”. Setiap kali Anda pergi liburan bersama teman atau kerabat, pasti kotak film bermerk Kodak itu nyangkut di tas Anda.

Namun perkembangan teknologi kamera digital telah menghempaskan Kodak dalam puing sejarah yang usang. Kodak tidak cepat merespon perubahan yang mematikan, dan kini mereka tinggal menunggu peti mati untuk beranjak tidur selamanya.

Contoh kedua, telepon rumah. Dulu, bisnis ini menjadi sumber mesin uang bagi Telkom, sang penguasanya. Namun kini, ketika handphone telah ada di mana-mana, frekuensi penggunaan telepon rumah menurun drastis—di rumah pun banyak orang lebih memilih memakai handphone daripada telepon rumah yang “jadul” itu.

Dan inilah yang terjadi: penurunan pendapatan Telkom dari bisnis telepon rumah lebih cepat daripada yang mereka prediksi. Bisnis telepon rumah kemudian menjelma menjadi bisnis yang stagnan, dan bagian dari sejarah masa silam.

Contoh lain, perang inovasi di bisnis sepeda motor. Dulu, produsen motor  Suzuki selalu menempel ketat sang penguasa pasar: Honda, bersama rival terdekatnya: Yamaha. Namun ketika menggebrak dengan produk inovatif bernama skutik Mio, Yamaha, yang pernah mensponsori Valentino Rossi di ajang balap sepeda motor MotoGP, terbang melesat bersama Honda—yang terus terengah-engah menahan nafas agar tak tersalip.

Yang kemudian tertinggal dalam sembilu kepedihan adalah Suzuki. Gebrakan inovasi Yamaha, yang segera disusul oleh Honda, telah membuat Suzuki terpelanting dan terkaing-kaing. Kita sekarang menyaksikan banyak dealer motor Suzuki yang tutup, dan pangsa pasar mereka terus menurun. Kita tidak tahu sampai kapan Suzuki akan terus mengalami penderitaan yang menyakitkan ini.

Tiga kasus di atas telah menyodorkan eksemplar yang begitu jelas: tanpa spirit inovasi, sebuah produsen bisa tergolek kehilangan raga. Proses ini mungkin menjadi kian dramatis dalam bisnis yang melibatkan teknologi yang bergerak dengan cepat—seperti tiga kasus di atas.

Ketajaman mengendus tren pasar, tim pengembangan produk (product development) yang unggul serta budaya inovasi yang mengakar, adalah sejumlah elemen dasar yang perlu dibentangkan jika sebuah organisasi ingin terus bisa bertahan dalam laga inovasi yang terus berjalan tanpa henti.

Tanpa bekal itu semua, sebuah organisasi bisa terjebak dan sekarat. Bagi mereka, perang inovasi bisa menjelma menjadi drama yang menyakitkan, dan membuat mereka terkubur lenyap dalam kesunyian.

Tentang Penulis Kolom Ini

Yodhia Antariksa adalah blogger yang mengelola blog http://strategimanajemen.net/. Ia founder dan chief executive officer (CEO) PT. Manajemen Kinerja Utama, sebuah firma konsultan yang bergerak dalam bidang corporate performance management.

Yodhia terlibat dalam pengembangan sistem manajemen kinerja untuk beragam klien, baik untuk perusahaan swasta nasional, BUMN, multi national companies ataupun government organizations.

Yodhia meraih master of science in HR management di Texas A&M University (USA) atas beasiswa dari Fulbright Scholarship. Pendidikan S-1 di bidang manajemen diselesaikannya di Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta.


Artikel asli: https://pengusahamuslim.com/5793-innovation-war-yang-terluka-dan-gugur-di-medan-laga.html